A. Pengertian Asuransi Syariah
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahawa asuransi
berasal dan dari kata dalam bahasa Inggris insurance
atau assurance yang berarti
jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah :
“Suatu perjanjian dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu
premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang dihaerapkan, yang mungkin akan dideritanya
kerena suatu peristiwa yang tak
tertentu”.[1]
Menurut pasal 1 undang-undang no. 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin ada
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.[2]
Sedangkan yang
dimaksud dengan asuransi syari’ah dalam Fatwa DSN MUI adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan
syari’ah.
B.
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah
Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syari’ah ada sembilan macam, yaitu : tauhid,
keadilan, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, larangan riba,
larangan judi, dan larangan gharar.
1.
Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid adalah
dasar utama dari setiap bentuk tabungan yang ada dalam syari’ah islam. Setiap
bangunan dan aktivitas kehidupan
manusia harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Dalam
berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan
suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan
paling tidak dalam setiap melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan
dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan
selalu berada bersama kita.
2.
Keadilan (Justice)
Prinsip kedua dalam
berasuranasi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang
terkait dengan akad asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya
dalam menempatkan hak dan kewajiban anatara peserta asuransi dan perusahaan asuransi.
Di sisi lain keuntungan
yang dihasilkan oleh perusahaan dari hasil investasi dana nasabah harus dibagai
sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah yang disepakati
antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian keuntungan juga harus
mengacu pada keuntungan tersebut.
3.
Tolong menolong (ta’awun)
Prinsip
dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan asuransi adalah harus didasari
dengan semangat tolong-menolong (ta’awun) antar anggota. Seseorang yang
masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan
meringankan beban temannya yang pada
suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.
Dalam
hal ini Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
“....tolong
menolongkah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah.”
Praktik
tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk bisnis asuransi.
Tanpa adanya unsur ini atau semata-mata untuk mengejar bisnis berarti
perusahaan asuransi itu sudah kehilangan karakter utamanya, dan seharusnya
sudah wajib terkena penalti untuk dibekukan operasionalnyasebagai perusahaan
asuransi.[3]
4.
Kerja sama (Cooperation)
Prinsip kerja sama
merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islami.
Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang
dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara peserta
asuransi dan perusahan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai dalam
bisnis asuransi dapat memakai konsep mudharabah atau musyarakah.
Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua buah konsep dasar dalam kajian
ekonomika dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan.
5.
Amanah ( Trustworthy / al-Amanah )
Prinsip amanah dalam
organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas perusahaan
melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan
asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses
laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan
asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam
bermuamalah dan melalui auditor public. Prinsip amanah juga harus
berlaku pada diri peserta asuransi. Seseorang yang menjadi peserta asuransi
berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana
iuran dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya.
6.
Kerelaan ( al-Ridha )
Dalam bisnis asuransi,
kerelaan (al-ridha) dapat diterapkan pada setiap peserta asuransi agar
mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang
disetorkan ke perusahan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’).
Dana sosial (tabarru’) memang betul-betul digunakan untuk tujuan
membantu anggota asuransi yang lain jika mengalami bencana kerugian.
7.
Larangan riba
Riba
secara bahasa bermakna ziyadah “tambahan”. Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis,
riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menjelaskan baahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam.[4]
8.
Larangan judi (Maisir)
Kata
maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi
dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh
dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak
dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
kejadian atau tindakan tertentu.
Dalam
industri asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan adanya gharar sistem
dan mekanisme pembayaran klaim[5].
Mohd Fadli Yusof, menjelaskan bahwa unsur maisir dalam asuransi konvensional
terjadi karena di dalamnya trerdapat faktor gharar. Ia mengatakan, “adanya
unsur al-maisir “perjudian” akibat adanya unsur gharar, terutama dalam kasus
asuransi jiwa. Apabila seorang pemegang asuransi meninggal dunia, sebelum akhir
periode polis asuransi, namun telah telah membayar sebagian preminya, maka
tertanggung akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh
uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal
inilah yang dipandang sebagai al-maisir “perjudian” dalam asuransi konvensional”
9.
Larangan gharar
Gharar
dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ yaitu suatu tindakan yang di
dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Wahbah al-Zuhaili memberikan pengertian tentang gharar
sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan
kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya
menimbulkan kebencian. Oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata’ul ghuruur
artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. [6]
[1] M.
Solahudin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta : Muhammadiyah
University Press, 2006), hal. 127.
[2] Heri
sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, cet 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hal.
112
[4]
M, Syafi’i Antonio. Bank Syariah Wacana Ulama Dan
Cendikiawan. TAZKIA Institute, 1999. Hal. 59
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !