I. TNDAK PIDANA
PERBANKAN.
Tindak pidana perbankan
terdiri atas perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang
perubahannya serta peraturan pelaksanaannya, pelanggaran mana dilarang dan
diancam dengan pidana yang dimuat dalam Undang-Undang itu sendiri.
Adapun tindak pidana di
bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dalam
ruang lingkup seluruh kegiatan usaha pokok lembaga keuangan bank, sehingga
perbuatan tersebut biasanya diancam juga dengan ketentuan pidana yang yang
termuat diluar UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang perubahannya
serta peraturan pelaksanaannya, sehingga penindakannya berdasar delik biasa dan
atau delik khusus.
Bentuk tindak pidana
perbankan bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank, tidak kejahatan
bank terhadap bank lain, ataupun tindak kejahatan bank terhadap perorangan
sehingga dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku. Adapun
dimensi ruang tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu tempat tertentu
bisa melewati batas-batas territorial suatu negara. Begitu pula dimensi waktu
bisa terjadi seketika, tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama.
Adapun ruang lingkup
terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup
kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan
dan lebih luasnya mencakup juga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan
yang dapat dilanggarnya baik yang tertullis maupun yang tidak tertulis juga meliputi
norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah
diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dari tindak pidana perbankan dapat
dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum (korporasi).
II. KUALIFIKASI
TINDAK PIDANA PERBANKAN.
Kualifikasi bentuk tindak
pidana perbankan ada dua jenis yaitu kejahatan, dan pelanggaran. Secara garis
besarnya bentuk kejahatan dan pelanggaran yang sering terjadi di bidang
perbankan yaitu diantaranya :
- a. Penipuan, atau kecurangan di bidang perkreditan (credit fraud).
- b. Penggelapan dana-dana masyarakat (embezzlement of public funds).
- c. Penyelewengan atau penyalahgunaan dana-dana masyarakat (misappropriation of public funds).
- d. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan keuangan (violation of currency regulations).
- e. Pencucian uang (money laundering)
Penggolongan tidaklah
mungkin secara ketat dan kaku diberlakukan atas suatu tindak pidana perbankan
yang terjadi karena pada dasarnya penggolongan tersebut hanyalah untuk
mempermudah secara teoritis sedangkan dalam prakteknya suatu tindak pidana itu
dapat melintasi penggolongan secara teoritis karena keterkaitan unsur-unsur
dari tindak pidana tersebut yang sering melebar sehingga pembedaannya sangatlah
tipis atau gradual saja.
2.1. Penipuan, atau
Kecurangan di Bidang Perkreditan.
Kecurangan (fraud):
pemalsuan, penipuan, atau pemberian gambaran atau keterangan yang tidak
sebenarnya dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan menimbulkan kerugaian
material bagi pihak lain, Contohnya dari bentuk kecurangan dalam perkreditan
yaitu tindakan mark up (penggelembungan jumlah kebutuhan
investasi suatu proyek untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dari
semestinya). Bentuk tindakan lain yang dapat digolongkankepada tindakan penipuan,
dan kecurangan dalam bidang perkreditan (credit fraud) yaitu
tindak pidana yang diatur dalam pasal 35 Undang-Undang no. 42 tahun 1999
tentang jaminan fidusia yaitu tindakan debitur yang memberikan keterangan
secara menyesatkan, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut yang intinya
mengatur sebagai berikut:
“Setiap orang yang
dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau engan secra apapun
memberikan keterangan secara menyesatkan, sehingga terjadinya perjanjian
fidusia maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan
paling lama lima tahun, dan denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling banyak
100 juta”.
Perbuatan ini terjadi
karena adanya kolusi antara para pihak terkait dalam suatu kegiatan perbankan
tersebut. Pihak oknum bank memberikan kemudahan kepada pelaku dengan melakukan
penyimpangan atas ketentuan perkreditan yaitu di antaranya terhadap ketentuan
yang tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor SE 6/22/UPK/1973. Oknum
pihak bank telah menerima fasilitas dari si pelaku tindak pidana tersebut guna
memperlancar pencairan kreditnya sementara kredit tersebutkemudian tidak dapat
dikembalikan pada waktunya.
Perbuatan kecurangan
perkreditan ini menurut peraturan yang berlaku sekarang dapat dikategorikan
sebagai suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 49 ayat (2)
huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Ancamannya yaitu
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan palin lama 8 tahun serta denda
sekurang-kurangnnya 5 milyar rupiah dan paling banyak 100milyar rupiah.
Ketentuan pasal inipun dapat digabung dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1971, khususnya pasal 2 dan 3, karena tampak ada unsure-unsur
korupsinya terutama unsure memperkaya diri.
2.2. Penggelapan Dana
Masyarakat.
Penggelapan dana
masyarakat (embezzlement of public funds) sering terjadi dengan modus
operandi berupa pembuatan dokumen asli tapi palsu, pemindah bukuan dan transfer
fiktif. Pelaku penggelapan dana pada dasarnya mereka yang diserahi pengelolaan
dana pada bank, misalnya teller, kasir atau pengelola transaksi valuta asing,
dan pejabat karyawan yang berhubungan dengan pengelolaan dana. Modus teller
diantaranya tidak menatausahakan deposito/simpanan nasabah secara benar
melainkan mengalihkan dana tersebut untuk kepentingan si pelaku.
2.3. Penyelewengan
atau Penyalahgunaan Dana Masyarakat.
Penyelewengan atau
penyalahgunaan dana-dana masyarakat (misappropriation of public funds) dapat
terjadi karena pemilik bank yang dengan tidak hati-hati bahkan dengan sengaja
menggunakan dana masyarakat ke dalam kegiatan usahanya yang penuh spekulasi.
Pengelola atau pemilik tidak mengindahkan ketentuan yang mengatur mengenai
pemberian kredit kepada kelompok usahanya, pemberian kredit ini tanpa disertai
jaminan dan bunga yang sesuai. Sehingga terjadi pembengkakan kredit macet dan
akhirnya bank tersebut dicabut izinnya, dan likuidasi.
2.4.
Pelanggaran Terhadap Peraturan-Peraturan Keuangan.
Pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan keuangan (violation of currency regulations) biasanya
dilakukan oleh para pihak yang berkecimpung dalam perbankan, misalnya
komisaris, direksi bank, juga mereka yang termasuk kedalam kategori terafiliasi
dalam perbankan serta nasabah yang memanfaatkan jasa perbankan. Contohnya ;
pendirian bank gelap, pembocoran rahasia bank, laporan palsu dalam pencatatan
atau pembukuan rekening atau transaksi suatu bank “window dressing”.
Dan lain sebagainya.
2.5.
Pencucian Uang.
Pencucian uang “money
laundering” adalah suatu tindakan dari seorang pemilik guna membersihkan uang
hasil dari perbuatan yang melawan hukum dengan cara menginvestasikan atau
menyimpannya di lembaga keuangan. Pencucian uang biasanya dilakukan dari hasil
korupsi, merampok, atau perbuatan lainnya yang melanggar undang-undang.
Pencucian uang merupakan
suatu tindak pidana. Tindak pidana ini diatur dalam suatu Undang-undang yaitu
dalam Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Pencucian uang
dilakukan tujuan utama pelaku kejahatan melakukan pencucian uang adalah untuk
menyamarkan hasil kejahatan agar si pelaku tersebut akhirnya bebas menikmati
hasil kejahatannya. Di Indonesia pencucian uang memang baru-baru ini saja diadakan
peraturan undang-undangnya karena sejak jatuhnya orde baru banyak kekayaan para
pejabat dan terutama kekayaan mantan presiden Soeharto yang menjadi sorotan
public, disanksikan oleh masyarakat karena diluar kewajaran dan dperkirakan
diperoleh dari hasil korupsi selama dia menjadi presiden.
Tindak pidana pencucian
uang dapat diselidiki dari transaksi-transaksi nasabah yang mencurigakan.
Transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil
dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah,
termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh penyedia jasa keuangan.
Beberapa contoh transaksi
keuangan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan
mencurigakan dan kondisi yang sering digunakan dalam pencucian uang, apabila
tidak diperoleh informasi yang memuaskan maka transaksi-transaksi dibawah ini
harus dipandang sebagai transaksi keuangan mencurigakan :
1. Nasabah atau kuasanya
berupaya menghindari untuk berhubungan langsung dengan penyedia jasa keuangan;
2. Penggunaan banyak
rekening dengan alasan tidak jelas
3. Penyetoran dalam
nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi dan kemudian dilakukan
penarikan sekaligus
4. Penarikan dalam jumlah
besar terhadap rekening tidak aktif
5. Penarikan dalam jumlah
besar terhadap rekening yang baru menerima dana yang tidak diduga dan tidak
biasa baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
6. Adanya transfer dana
ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat tinggi dan secara
tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong tidak aktif
Nasabah yang berasal dari
atau mempunyai rekening di negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang
atau negara yang kerahasiaan banknya sangat ketat.
Berdasarkan pasal 13 ayat
1 huruf b, Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian
uang sebagaimana telah diubah menjadi Undang_undang no.25 tahun 2003, penyedia
jasa keuangan (PJK) termasuk didalamnya adalah bank, wajib menyampaikan laporan
transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang
nilainya setara, baik dilakukan satu kali transaksi maupun beberapa kali
transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. Laporan transaksi tersebut dikenal sebagai
Cash Transaction Report (CTR).
Berdasarkan pasal 1 angka
8 Undang-Undang tindak pidana pencucian uang, yang dimaksud dengan transaksi keuangan
yang dilakukan dengan tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau
penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang
dilakukan melalui Penyedia jasa Keuangan (PJK), sebagai contoh bila nasabah
pemegang rekening menyetor tunai minimal sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) hari kerja, maka bank wajib melaporkan transaksi
tersebut ke PPATK. Kedua macam laporan tersebut akan digunakan oleh PPATK
sebagai data untuk dilakukan analisa dan outputnya menjadi informasi intelejen
keuangan yang akan diberikan kepada pihak yang berkompoten antara lain
kejaksaan dan kepolisian untuk ditindak lanjuti.
3.1. Undang-Undang TindakPidana Pencucian Uang di Indonesia.
Pemerintah melalui
Undang-undang No. 15 Tahun 2002 dan diperbaharui menjadi Undang-undang No.25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berupaya untuk meminimalisir
pencucian uang, sampai dengan saat ini pelaksanaan UU tersebut berupaya terus
ditingkatkan.
Dalam rangka mencegah
agar bank tidak dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang, untuk pertama
kalinya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI No.3/10/PBI/2001 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah dan diperbaharui dengan PBI No.5/21/PBI/2003 untuk
menyesuaikan dengan Undang-undang tahun 2003 tentang perubahan atas
Undang-undang No.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Undang-Undang tindak
pidana pencucian uang dilakukan Indonesia karena desakan internasional. Alasan
ini kental sekali karena sejak tiga tahun lalu Indonesia bersama sejumlah
negara lain dinilai sebagai negara yang tidak kooperatif dalam menanggulangi
pencucian uang dan terancam sanksi internasional terutama oleh Financial Action
Task Force karena tidak mempunyai UU tindak pidana pencucian uang.
Pembentukan UU tindak
pidana pencucian uang dimaksudkan agar segala bentuk pencucian uang dapat
dicegah dan diberantas serta terhadap pelakunya diberikan sanksi hukum. Praktik
pencucian uang “money laundering”dilakukan dengan cara menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang
asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata
gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,
perjudian, prostitusi, di bidang per-pajakan, di bidang kehutanan, di bidang
lingkungan hidup, di bidang kelautan, atau tindak pidana lainnya yang diancam
dengan pidana 4 (empat) tahun atau lebih, dengan maksud untuk menyembunyikan,
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah.
PPATK (Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan), sebagai lembaga independen yang bertugas
menganalisis semua transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilaporkan oleh
penyedia jasa keuangan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK oleh
UU TPPU diberi kewenangan untuk membantu penegak hukum memberantas tindak
pidana pencucian uang dari berbagai kejahatan, baik oleh perorangan maupun
korporasi, dalam batas wilayah negara RI maupun di luar batas wilayah negara RI
dengan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau
multilateral
Proses penegakan hukum
terhadap laporan data PPATK yang diterima pihak Kepolisian dan Kejaksaan
haruslah segera ditindaklanjuti guna mencegah berpindahnya harta kekayaan hasil
tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, yang berakibat
akan mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang.
Pencucian uang di
Indonesia diselesaikan dengan asas pembuktian terbalik yakni dimana si pelaku
menjelaskan sendiri asal harta kekayaan yang dimilikinya di muka pengadilan
bahwa harta kekayaanya bkan merupakan hasil dari suatu perbuatan tindak pidana.
Dan untuk kelancaran
pemeriksaan di pengadilan sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi
apabila sampai tiga kali dilakukan pemanggilan untuk sidang tidak hadir, hakim
dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa
(secara in absentia), sedangkan apabila diperoleh bukti yang cukup di
persidangan bahwa terhadap harta kekayaan terdakwa merupakan hasil tindak
pidana, maka dapat disita untuk dikembalikan kepada negara.
Sedangkan kepada terdakwa
dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15
tahun, dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar.
Sejalan dengan program pemberantasan kejahatan korupsi, penyuapan, terorisme,
narkotika, psikotropika, perjudian dan illegal logging dalam pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla maka pemanfaatan UU TPPU dalam
mengungkap hasil kekayaan yang tidak sah melalui informasi intelijen yang
dihasilkan dari analisis PPATK sangatlah efektif digunakan penegak hukum untuk
mengungkap tindak kejahatan kerah putih tersebut.
3.2. Proses
Pencucian Uang.
Secara umum proses
pencucian uang ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, pertama, penempatan
(placement), yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana
ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Dalam proses ini terdapat
pergerakan fisik uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu
negara ke negara lain, penggabungan antara uang tunai yang berasal dari
kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
Kedua, transfer
(layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari
tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan
melalui penempatan (placement). Dalam proses ini terdapat rekayasa untuk
memisahkan uang hasil kejahatan dari sumbernya melalui pengalihan dana hasil
placement ke beberapa rekening lainnya dengan serangkaian transaksi yang
kompleks. Layering dapat pula dilakukan dengan transaksi jaringan internasional
baik melalui bisnis yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum
namun tidak memiliki kegiatan apapun.
Ketiga, menggunakan harta
kekayaan (integration), yakni suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan
melalui placement atau layering sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan
halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai
kegiatan kejahatan.
3.3. Kendala
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Setelah melalui proses
pencucian melalui placement atau layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan
resmi sehingga tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas
kejahatan yang menjadi sumber dari uang tersebut.
Kendala lainnya adalah karena
transaksi pencucian uang ini tidak lagi dilakukan dengan cara tradisional,
namun telah menggunakan sarana perbankan dengan teknologi yang tinggi dan tidak
hanya dilakukan dalam lingkup domestik, tetapi juga dilakukan antarnegara.
Selain itu, penanganan
tindak pidana pencucian uang dapat semakin sulit untuk diatasi, karena
penyalahgunaan perangkat TI, sehingga TI malah digunakan sebagai media
pencucian uang yang canggih, seperti penggunaan Smart Card, maka pelaksanaan
transfer melalui sistem jaringan terpadu telah memungkinkan terjadinya
perpindahan uang cash tanpa pergerakan fisik yang berpindah dari satu kartu ke
kartu yang lain, juga tanpa lewat mediasi lembaga keuangan secara langsung.
Tindak pidana pencucian
uang ini merupakan buah simalakama bagi pemerintah Indonesia, karena disatu
sisi pemerintah Indonesia memerlukan investasi dari luar negeri (foreign
investment) untuk menggerakan ekonomi dan membuka lapangan kerja, tetapi disisi
lain Indonesia harus kooperatif memberantas tindak pidana pencucian uang
mencegah terkena sanksi yang serius sebagaimana telah diuraikan di depan.
3.4.
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang
tindak pidana pencucian uang pemerintah juga hendaknya melakukan
langkah-langkah yang nyata guna menegakan hukum khususnya dalam hal pencucian
uang.
Dalam Pemberantasan
tindak pidana pencucian uang pemerintah Indonesia mengadakan kerja sama
internasional untuk penanganan praktek pencucian uang juga penting seperti
tukar menukar informasi keuangan yang patut dicurigai, kerja sama untuk
mendapatkan barang bukti di luar negeri, pembekuan aset-aset yang dicurigai
sebagai hasil transaksi pencucian uang dari tindak pidana. Kerja sama
pemerintah telah dijalin dengan beberapa Negara diantaranya ; Filipina,
Australia, Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Romania, Belgia, Italia,
Polandia, Spanyol, Peru, China, Kanada, dan Mexico.
Selain itu, mempersiapkan
kualitas sumber daya manusia pada lembaga keuangan bank dan non-bank, aparat
penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan dalam memahami profil transaksi
pencucian uang. Untuk itu diperlukan kerjasama antara instansi terkait dengan
PPATK, sebagai financial unit yang bertugas melakukan penyelidikan awal untuk
membantu pihak kepolisian dan kejaksaan.
Hal lain yang akan
dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang adalah rencana Bank Indonesia (BI) untuk menilai atas
kecukupan dan efektifitas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer) dan undang-undang tindak pidana pencucian uang berdasarkan
pemeriksaan di bank-bank.
Dari hasil pemeriksaan
tersebut nantinya akan diberi nilai dan diperhitungkan dalam penilaian tingkat
kesehatan bank. Apabila bank memperoleh nilai rendah, maka akan dikenakan
sanksi berupa penurunan tingkat kesehatan dan pelaksanaan penilaian fit &
proper terhadap pengurus bank.
Apa yang hendak dilakukan
oleh BI hendaknya dijadikan contoh bagi pihak regulator lembaga keuangan
non-bank seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan efek, pengelola
reksa dana dan lain sebagainya, agar penerapan undang-undang tindak pidana
pencucian uang dapat berjalan dengan efektif, sehingga Indonesia benar-benar
keluar dari pemantauan katagori kelompok negara yang tidak cooperatif (NCCTs).
Dalam rangka mencegah
agar bank tidak dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang, untuk pertama
kalinya Bank Indonesia mengeluarkan peraturan PBI No.3/10/PBI/2001 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah dan diperbaharui dengan PBI No.5/21/PBI/2003 untuk
menyesuaikan dengan Undang-undang tahun 2003 tentang perubahan atas
Undang-undang No.15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Undang-undang
dan Peraturan Bank Indonesia seluruh bank yang ada di Indonesia wajib memenuhi
lima pilar yang menjadi penilaian Bank Indonesia, lima pilar tersebut adalah :
- 1. Pengawasan aktif manajemen
- 2. Kebijakan dan prosedur
- 3. Sumber daya manusia dan pelatihan
- 4. Sistem Informasi Manajemen
- 5. Pengendalian Intern dan fungsi pengawasan intern
Sanksi berdasarkan Surat
Edaran Bank Indonesia no.6/37/DPNP/2004 akan diberikan berupa teguran, denda
sampai dengan satu milyar, penurunan tingkat kesehatan, pembekuan usaha bank
sampai dengan pemberhentian komisaris dan direksi (pengurus) bank, bagi yang
tidak melaksanakan Peraturan Bank Indonesia tersebut.
Pihak bank dalam
pemberantasan pencucian uang selalu melakukan updating data dan profile nasabah
sesuai dengan yang sebenarnya serta melaporkan ke PPATK Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (Suspicius Transaction Report) dan Laporan Transaksi
Keuangan Tunai (Cash Transaction Report). Dalam melakukan identifikasi
transaksi keuangan mencurigakan metode yang digunakan oleh para pencuci uang
dapat dikatakan hampir tidak terbatas, sehingga tidak mudah mengidentifikasi
transaksi keuangan mencurigakan, dibutuhkan suatu judgement atas dasar
fakta-fakta yang kuat dan bukan hanya sekedar tidak adanya suatu informasi
tertentu dari nasabah, ketepatan judgement ditentukan oleh kelengkapan
informasi nasabah dan transaksi yang dilakukannya serta pelatihan dan
pengalaman dari karyawan/pejabat bank selaku penyedia jasa keuangan.
Sekalipun upaya
pencegahan agar sistem keuangan tidak digunakan sebagai sarana ataupun sasaran
pencucian uang paling efektif dilakukan pada tahap placement, namun
upaya identifikasi kegiatan pencucian uang pada tahap layering dan integration harus
tetap mendapat perhatian yang sungguh- sungguh. Hal ini mudah dipahami
mengingat kegiatan pencucian uang yang tidak terdeteksi pada tahap placement, masih
dimungkinkan terjaring pada tahap layering dan tahap integration.
Bahkan dengan perkembangan teknologi akhir-akhir ini kegiatan pencucian uang
lebih banyak terungkap dari proses identifikasi yang dilakukan pada tahap
layering.
Umumnya penyedia jasa
keuangan mengajukan beberapa pertanyaan atau meminta keterangan tambahan kepada
nasabah ketika dilakukan penyetoran dan pengambilan uang. Hal ini mengakibatkan
para pelaku tindak pidana bereaksi yaitu dengan mencari berbagai alternatif
teknik placement, antara lain dengan mencampur dana hasil
tindak pidana dengan dana yang sah sebelum masuk ke dalam system keuangan. Hal
ini dilakukan untuk mempersulit pendeteksian pada tahap placement.
Pada tingkat yang sangat canggih sebagian tindak pidana pencucian uang sama
sekali tidak melibatkan uang tunai.
IV. PENUTUP.
Saat ini berkembang
pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak pidana mengubah dana hasil tindak
pidana dari “kotor” menjadi “bersih” dan menyita hasil tindak pidana tersebut
merupakan cara yang efektif untuk memerangi tindak pidana itu sendiri. Hal ini
karena kekayaan hasil tindak pidana selain merupakan darah yang menghidupi
tindak pidana (life blood of the crimes), juga merupakan mata
rantai yang paling lemah dari keseluruhan proses kegiatan tindak pidana.
Kemampuan mencuci uang
hasil tindak pidana melalui sistem keuangan merupakan hal yang sangat vital
untuk suksesnya kegiatan kriminal, sehingga setiap pihak yang terlibat dalam
tindak pidana tersebut akan memanfaatkan kelemahan (loop-holes) yang
terdapat pada sistem keuangan.
Penggunaan sistem
keuangan sebagai sarana tindak pidana pencucian uang mempunyai potensi
meningkatkan risiko bagi penyedia jasa keuangan secara individual, yang pada
akhirnya juga dapat meruntuhkan integritas dan stabilitas sistem keuangan
secara keseluruhan. Semakin meningkatnya integrasi antar sistem keuangan dunia
dan berkurangnya hambatan dalam perpindahan arus dana, akan memperbesar peluang
praktik pencucian uang dalam skala global sehingga mempersulit upaya
pelacakannya.
Setiap penyedia jasa
keuangan yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang akan menanggung
risiko dituntut, kehilangan reputasi pasar, yang dapat berakibat merusak
reputasi Indonesia sebagai negara/wilayah yang aman dan dapat dipercaya bagi
investor.
Pencucian uang sering
hanya dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kedit atau pedagang valuta
asing. Perlu juga diketahui bahwa selain produk tradisional perbankan seperti
tabungan/deposito, transfer serta kredit/pembiayaan, produk dan jasa yang
ditawarkan oleh lembaga keuangan lainnya dan lembaga non keuangan juga menarik
bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai sarana pencucian uang.
Lembaga keuangan maupun
lembaga non keuangan lain yang sering digunakan oleh pencuci uang, dengan
melibatkan banyak pihak lain tanpa disadari oleh yang bersangkutan, antara
lain:
- a. Perusahaan Efek yang melakukan fungsi sebagai Perantara
- b. Pedagang Efek
- c. Perusahaan Asuransi dan Broker Asuransi
- d. Money broker
- e. Dana Pensiun dan Perusahaan Pembiayaan
- f. Akuntan, Pengacara dan Notaris
- g. Surveyor dan agen real estat
- h. Kasino dan permainan judi lainnya
- i. Pedagang logam mulia
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, Muhamad, Hukum
Perbankan di Indonesia, Citra
Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Anwar, Moch., Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, cet. 2,
Alumni,
Bandung, 1986.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang
http://www.btn.co.id
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !