Problem kelangkaan pasokan dan mahalnya harga kedelai di Indonesia untuk
kesekian kalinya terulang kembali. Dari beberapa media masa memberitakan adanya
keterbatasan produksi kedelai dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan
kedelai dan mengatasi problem tersebut pemerintah memilih opsi pembebasan bea
import kedelai hingga 0% yang semula dikenakan bea masuk 5%. Kondisi ini dalam
jangka pendek diharapkan mampu memacu kuota import kedelai guna mencukupi kelangkaan
kebutuhan kedelai di dalam negeri.
Menteri Pertanian bahkan menegaskan bahwa problem kedelai di Indonesia
saat ini masih mengandalkan kedelai impor dari Amerika terutama untuk produksi
tahu tempe dan karena terbatasnya ketersediaan lahan untuk menanam kedelai.
Bahkan diberitakan bahwa kondisi import kedelai mengalami permasalahan terkait
dengan penurunan produksi kedelai Amerika karena mengalami kegagalan panen
akibat iklim/cuaca buruk.
Pernyataan ini dikuatkan dengan fakta empiris bahwa komoditas pertanian
termasuk didalamnya kedelai sangat rentan dengan perubahan iklim/cuaca karena
perubahan jumlah bulan basah/lembab berpengaruh positif terhadap produksi
kedelai. Korelasi antara perubahan iklim (jumlah bulan basah/lembab)
dengan produksi kedelai menunjukkan bahwa kenaikan satu satuan bulan
basah/lembab mengakibatkan penurunan produksi kedelai sebesar 0,030
satuan. Sedangkan terhadap produktivitas menyebabkan penurunan sebesar 0,386
satuan. Selain itu, Perubahan jumlah bulan basah juga berpengaruh terhadap
penurunan luas tanam sebesar 0,094 dan luas panen sebesar 0,109
satuan.(http://litbang.patikab.go.id).
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan menilai, pembebasan bea masuk impor
kedelai tidak akan memberi dampak signifikan bagi penurunan harga komoditas
tersebut dalam waktu singkat. Menurutnya, yang menjadi permasalahan di
Indonesia bukan hanya lahan tanam kedelai yang minim. Namun pola konsumsi yang
mempengaruhi besarnya impor kedelai. Saat ini konsumsi kedelai per tahun
mencapai 26 juta ton, dan produksi nasional hanya mencapai 600-800 ton.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krishnamurti menegaskan
adanya kebijakan pembebasan bea masuk kedelai maka harga impor kedelai akan
turun sekitar Rp 350-Rp 400 per kilogram. Keadaan ini diharapkan dapat
menyelesaikan kelangkaan dan mahalnya harga kedelai import di dalam negeri
untuk memenuhi pasokan industri tempe tahu yang selama ini sudah sangat
merakyat menjadi menu pemenuhan kebutuhan protein nabati rakyat Indonesia.
Kondisi yang dialami ini pernah juga terjadi pada tahun 2008 dimana
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai memonitor indikasi kartel harga
yang dilakukan empat importir kedelai. Monitoring ini merupakan inisiatif KPPU
sendiri setelah mendeteksi adanya permainan harga kedelai. Kondisi tahun 2008
ini hampir sama dimana pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menkeu No 1 Tahun
2008 yang membeaskan bea masuk import kedelai dari yang sebelumnya kedelai
impor dikenakan bea masuk 10%.
Dari sisi tata niaga bahwa sebelum reformasi tata niaga kedelai ada yang
mengurus dan setelah reformasi tata niaga kedelai tidak ada yang mengurus.
Menyikapi hal ini direncanakan pemerintah akan memberdayakan BULOG untuk ikut
mengatur tata niaga kedelai.
Berbagai gambaran mengurai permasalahan ketersediaan, produk,
produktivitas dan harga kedelai sebagai salah satu entitas dalam komoditas
pertanian kiranya dapat dianalisis sesuai dengan hasil penelitian yang sudah
cukup lama dilaksanakan oleh Tim Survei Pusat Palawija (CGPRT Centre) dan
dipublikasikan oleh The Centre for Alleviation of Poverty through Sustainable
Agriculture (CAPSA). CAPSA adalah suatu badan pendukung dari Komisi Ekonomi dan
Sosial untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) sebagai Pusat Penanggulangan Kemiskinan melalui
Pertanian Berkelanjutan yang didirikan pada tahun 1981, dan berbasis di Bogor
Indonesia.
Hasil studi terhadap Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia ini direncakan
oleh The Regional Co-ordination Centre for Research and Development of Coarse
Grains, Pulses, Roots and Tuber Crops in the Humid Tropics of Asia and the
Pacific (ESCAP CGPRT Centre) atas permintaan Pemerintah Indonesia pada akhir
tahun 1983 terkait dengan makin meningkatnya permintaan produk olahan berbahan
kedelai dan semakin bergantungnya Indonesia pada import kedelai selama
tahun-tahun terakhir. Studi dilaksanakan pada tahun 1984 dengan bekerjasama
dengan para peneliti Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Hasil studi menunjukkan bahwa kendala-kendala pokok dalam sistem
komoditas kedelai di Indonesia (Soybean commodity system in Indonesia)
berkaitan dengan produksi dalam negeri. Dengan cara budidaya kedelai yang masih
belum sempurna pada waktu penelitian dilakukan tidak dapat diharapkan terjadinya
peningkatan hasil yang besar. Rekomendasi studi menunjukkan perlunya
memperhitungkan keragaman budidaya kedelai di berbagai daerah dan perlunya
perbaikan cara budidaya kedelai yang diterapkan petani.
Terdapat pula temuan secara teknis perlunya penanggulangan dan
pengendalian serangan hama dan penyakit karena terdapat interaksi antara
serangan hama dan penyerapan hara, respon tanaman terhadap pemupukan dan
keadaaan hara mikro yang membutuhkan penelitian dengan bekerjasama melalui
lembaga penelitian nasional dan regional. Permasalahan lain yang ditemukan
dalam studi yaitu perlu penelitian khusus mengapa kedelai tidak diadopsi dalam
pola tanama sebagian petani di daerah yang sesungguhnya cocok dan sesuai untuk
produksi kedelai.
Dari sisi pemasaran, untuk sistem pemasaran tradisional hanya menyerap
produksi dalam negeri yang terdiri dari pedagang dan pabrik pengolahan relatif
kecil, dan melayani kebutuhan rumah tangga yang dipasarkan melalui toko-toko
dan pasar tradisional/pasar kecil-pasar kecil. Sistem kedua, adalah import
kedelai untuk pabrik-pabrik besar yang membuat pakan ternak dan barang-barang
konsumsi, dan menurut penelitian peran BULOG sangat penting sekali untuk
mengatur tata niaga impor karena sejak tahun 1974 harga kedelai impor lebih
rendah dari harga riil kedelai dalam negeri.
Kendala dan masalah pemasaran kedelai menurut hasil studi ditunjukkan
bahwa :
1. Produksi kedelai terpusat dalam kantong-kantong kecil yang
letaknya saling berjauhan.
2. Pengendalian mutu sulit diterapkan.
3. Musim dan kombinasi usaha menyulitkan penilaian ekonomi. Sistem
pemasaran memiliki saling keterkaitan dan ketergantungan dengan sistem
produksi. Distribusi produksi yang berada di kantong-kantong kecil menyulitkan
efisiensi angkutan dan pemasarannya. Pengembangan sistem pemasaran seharusnya
sejalan dengan sistem produksi. Hal ini dikarenakan sistem pemasaran akan dapat
diperbaiki apabila produski meningkat. Meski demikian bahwa peningkatan
produksi pun tergantung pada ketersediaan layanan yang diperlukan, termasuk didalamnya
sistem pemasaran yang handal.
Dalam hal pemanfaatan kedelai, ditemukan fakta menarik bahwa karena
meningkatnya jumlah industri dan investasi peternakan yang menarik minat
penanam modal asing telah membawa konsekuensi peningkatan industri pakan dan
peternakan. Keadaan ini sangat berlawanan dengan industri kecap, tahu, tempe,
oncom, karena industri pakan tampaknya merupakan lingkup cakupan perusahaan
besar yang tidak dapat disaingi oleh perusahaan-perusahaan kecil.
Kedelai mempunyai peran penting dalam penyediaan protein dan asam amino
esensial keseimbangan gizi pangan di desa dan kota. Tingginya elastisitas
pendapatan yang mendukung permintaan untuk konsumsi manusia serta berkembangnya
industri pakan ternak menguatkan pendapat kecil kemungkinan terjadi kelebihan
produksi mengingatnya besarnya potensi, permintaan pasar dan tingkat konsumsi
yang tinggi.
Terdapat dua alasan pokok yang mendasari makin meningkatnya kapasitas dan
tingginya import kedelai dari tahun ke tahun yaitu makin meningkatnya konsumsi
kedelai sebagai pangan serta makin bertambahnya permintaan bungkil kedelai
(bersama dengan jagung) sebagai pakan ternak.
Pada dasarnya sejak tahun 1982 produksi nasional kedelai telah mengalami
peningkatan dua kali lipat hingga menjadi 1.227.000 ton pada tahun 1986.
Peningkatan ini merupakan hasil perluasan areal tanam (ekstensifikasi) di luar
jawa, sementara hasil di Jawa naik menjadi hampir 1 ton/ha. Peningkatan hasil
ini ternyata produktivitasnya masih tetap harus ditingkatkan untuk mencukupi
kebutuhan kedelai yang juga naik secara signifikan melalui usaha peningkatan
produktivitas, menurunkan biaya produksi dengan cara perbaikan teknik budidaya,
pengelolaan hama dan penyakit, pengelolaan air, serta ketersediaan benih
bermutu.
Persediaan benih bermutu sejak tahun 1919 hingga penelitian dilakukan
tahun 1983, telah dikenalkan 14 varietas unggul kedelai. Varietas pertama
dikembangkan dari suatu galur introduksi dari Cina. Dari galur ini kemudian
dikembangkan varietas No.27 dan No.29 yang mampu masak dalam 100-110 hari.
Galur kedelai lainnya yang dikenalkan pada petani seperti Ringgit, Sumbing,
Merapi, Shakti, Davros, Orba, Galunggung, Lokon, Guntur, Wilis, Dempo, Kerinci,
Merbabu dan Raring.
Secara teknis meningkatkan produksi kedelai akan terkait dengan
pemanfaatan lahan kering (intensifikasi palawija) dimana masalah prasarana dan
teknologi menjadi hal nyata yang harus dihadapi karena pertanian lahan kering
di semua segi belum berkembang jika dibandingkan dengan pertanian di sawah. Hal
lain yang menjadi kendala adalah peralihan dari teknologi tanaman tunggal ke sistem
pola tanam dan usaha tani yang lebih rumit karena harus mengadopsi teknologi
lahan kering
KESIMPULAN
Setelah mencermati hasil studi sejak tahun 1984 tersebut , kiranya masih
tetap relevan untuk dijadikan pijakan dalam memetakan kendala dan permasalahan
sistem komoditi kedelai dan mampu menghantarkan pemahaman terhadap realita
problematika kedelai yang terjadi saat ini. Ada kesamaan alur pemikiran bahwa
problem kelangkaan kedelai dan mahalnya harga kedelai tidak cukup diatasi
secara sporadis dan temporer karena kompleksitas permasalahannya membutuhkan
pula penyelesaian secara sistemik dan saling terkait dari semua aspek
permasalahan yang telah diuraikan diatas. Jadi problem komoditas kedelai tidak
sekedar produksi, produktivitas, ketersediaan lahan, tata niaga import,
pemasaran dan sejenisnya namun secara lebih realistis perlu lebih dalam
menyentuh pula pola perilaku industri besar importir kedelai, industri besar
olahan pangan maupun pakan ternak dari bahan kedelai, pola perilaku petani, dan
peran kelembagaan (pemerintah, BUMN, libang, penyuluh), agar saling memikirkan
solusi terbaik dan solusi jangka panjang guna mewujudkan swasembada kedelai di
tahun 2014. ("EIP").
Bahan Referensi :
www.uncapsa.org/Publication/cg17.pdf;
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1886700/bebas-bm-harga-kedelai-tetap-melambung;
http://berita.plasa.msn.com/nasional/sctv/pemerintah-upayakan-lahan-untuk-tanam-kedelai;
http://www.suaramerdeka.com/harian/0801/22/eko08.htm;http://litbang.patikab.go.id/;
http://www.antaranews.com/berita/324129/bulog-difungsikan-atur-tata-niaga-kedelai
http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/pertanian/2632-menguak-problematika-komoditas-kedelai-di-indonesia.html
0 komentar :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !