Konsep ‘Urf dalam Kaidah Ushul Fiqih - Aulia Rachma
Headlines News :
Home » , , , » Konsep ‘Urf dalam Kaidah Ushul Fiqih

Konsep ‘Urf dalam Kaidah Ushul Fiqih

Written By Aulia Rachma on Minggu, 08 September 2013 | 03.20

Konsep ‘Urf dalam Kaidah Ushul Fiqih- Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut: ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus. ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya. ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.
Konsep ‘Urf dalam Kaidah Ushul Fiqih

A. Pendahuluan

Bangsa Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam cenderung memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi mereka, hukum yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat merupakan hukum yang sah dan harus diikuti. Konsep adat yang menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada masalah politik saja, tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep adat atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.

Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam memegang kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum mereka. Orang Arab mempunyai kesetiaan kepada pemimpinnya lebih daripada kesetian orang-orang non-Arab kepada pemimpin mereka, selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau kebiasaan yang sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya.

Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah yang kemudian memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi. Sunnah yang sudah mendapat konotasi baru inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar peletakan Hukum Islam. Sedangkan sunnah penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada masa sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu dasar hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.

Jika menilik sejarah, ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari anggapan bahwa sunnah mereka adalah sunnah yang terpelihara dan paling dekat dengan Sunnah Nabi. Selain itu ternyata ada beberapa persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan rinci diatur dalam Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau keputusan Nabi Muhammad SAW.

Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu dijelaskan dan diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah suatu kebiasaan dalam masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi. Salah satu kajian ushul fiqh yang fokus terhadapa permasalahan tersebut adalah masalah ‘urf. Makalah ini akan menjelaskan defenisi ‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.

B. Defenisi ‘Urf

‘Urf berasal dari kata bahasa Arab. Kata ini dibentuk atas huruf ain, ro dan fa. Dalam al-Munjid kita akan menemukan tiga arti pokok yang berbeda untuk kata ini. Yang pertama, Louis Ma’luf memberi arti mengaku, megetahui, apa yang diyakini karena telah disaksikan oleh akal dan secara alami orang menganggap itu benar. Yang kedua adalah kebaikan, rambut leher keledai, ombak dan daging merah di atas kepala ayam, tampaknya apa yang menjadi prinsip di arti yang kedua ini adalah sesuatu yang menonjol dari sesuatu yang lain. Yang ketiga adalah mengenal dan kebaikan. Sedangkan Ahmad Warson mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.

Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fikih, meskipun mempunyai banyak defenisi menurut beberapa ulama, tapi tampaknya semuanya berpulang kepada satu ide, yakni kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Harun Nasrun, yang mengutip definisi yang dituliskan oleh Ahmad Fahmi Abu Sunnah dalam buku al-‘‘urf Wal ‘Adah Fi Ra’yil Fuqaha, megajukan defenisi ‘urf sebagai berikut:

الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية

Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.

Sedangkan Zakiyuddin Sa’ban memberikan definisi ‘urf sebagai berikut:

ما اعتاده الناس و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلاقه على معنى خاص بحيث لا يتبادر عند سماعه غيره

Apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka mengetahui artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti lain yang terpikirkan bagi mereka ketika mendengar kata tersebut.

Abdul Wahab Khallaf memberikan defenisi sebagai berikut:

ما تعارفه الناس و ساروا عليه من قول أو فعل أو ترك و يسمى العادة

Sesuatu yang telah dikenal dan dilakukan oleh banyak orang, baik berupa perkataan, pebuatan ataupun kebiasaan untuk meninggalkan sesuatu. Hal ini juga disebut dengan adat.

Meskipun dengan redaksi yang berbeda hampir semua ulama memberikan konsep ‘urf dengan hal, tradisi, kebiasaan mayoritas orang baik dalam praktek ataupun dalam perkataan. Namun ada beberapa ulama yang memberikan definisi ‘urf secara khusus, yakni ‘urf tidak dalam arti umum, tapi ‘urf yang boleh menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum. Seperti Muhammad Zakariya al-Bardisiy:

العرف ما اعتاده الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعلا كان أو قولا دون أن يعارض كتابا أو سنة

‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun perkataan yang tidak bertentang dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.

Dari beberapa defenisi diatas juga dapat difahami bahwa kebanyakan ulama tidak membedakan adat, sunnah sebelum mendapat konotasi praktek Nabi dengan ‘urf. akan tetapi banyak dari mereka yang mengatakan bahwa hanya ‘urf dalam prakteklah yang disebut dengan adat.

Dari beberapa definisi di atas juga dapat difahami, bahwa ‘urf itu mencakup hal-hal yang begitu luas, baik dalam kebiasaan pribadi individual seseorang dalam kehidupan sehari-hari ataupun kebiasaan ornag dalam berfikir. Selain itu ‘urf atau juga adat bisa muncul dari sebab yang alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis, dan lain sebagainya.

Bila kita sependapat bahwa ‘urf ini sama dengan sunnah atau tradisi, maka memang kita akan menemukan peran ‘urf yang sungguh signifikan dalam pembentukan hukum Islam. Baik itu sunnah orang-orang Arab sebelum Islam ataupun sesudahnya.

C. Macam-Macam ‘Urf

Mayoritas ulama, biasanya membagi ‘urf ini berdasarkan kebolehannya menjadi bahan pertimbangan dasar hukum. Selain itu, ‘urf juga dibagi berdasarkan keumuman berlakunya di sebuah masyarakat dan berdasarkan bentuknya apakah berupa praktek ataukah perkataan.

Dari segi bentuknya atau objeknya ‘urf ini biasanya dibagi oleh para ulama menjadi dua macam yaitu:

a. ‘Urf lafzhi (عرف لفطى) yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada makna khusus yang terlintas dalam pikiran mereka, meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu bisa mempunyai arti lain. Beberapa contoh klasik yang akan kita temui dalam banyak literatur Ushul Fikih untuk ‘urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya bisa berupa putra atau putri seperti dalam firman Allah SWT:

يوصىكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين (النساء : 11)

Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata walad dengan arti anak laki-laki. Selain itu kata dâbbah yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk Iraq difahami sebagai keledai. Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah kata thalâq dalam bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi kemudian difahami dengan konotasi putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan kepada istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam pernikahan mereka.

b. ‘Urf ‘amali (العرف العملى) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan atau mua’malah. Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, spserti garansi jam bahwa jam itu bagus untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Dan lain sebagainya.

Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan masyarakat maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian juga, yakni ‘urf yang umum dan yang khusus

c. ‘Urf yang umum (العرف العام) adalah adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku secara luas di dalam masyarakat dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan cakupan ‘urf yang umum ini. Apakah hanya dengan berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas masyarakat ‘urf itu bisa disebut dengan ‘urf ‘âmm atau tidak. Ataukah ‘urf yang hanyak berlaku di Sumatera Utara saja bisa dikatakan ‘urf yang umum atau tidak.

d. ‘Urf yang khusus (العرف الخاص) adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di daerah tertentu atau dikalangan tertentu. Meskipun para ulama Ushul Fikih tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam mengkategorikan ‘urf yang khusus ini, tapi dari beberapa contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa waktu juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu apakah ia termasuk dari ‘urf yang umum atau yang khusus.

‘Urf ditinjau dari keabsahannya menurut syari’at, maka ‘urf ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ‘urf yang baik (العرف الصحيح ) dan ‘urf yang jelek (العرف الفاسد ), konsepnya adalah apakah ia sesuai dan sejalan dengan syari’ah atau tidak. Pembagian ‘urf dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian para ulama Ushul dalam kajian ‘urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa kajian sekilas tentang ‘urf hanya akan mengemukakan pembagian ‘urf dari segi kesesuaiannya dari syari’ah ataukah tidak.

e. ‘Urf shahih (العرف الصحيح ) adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi, tidak menghilangkan kemashlahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya bercadar bagi wanita yang merupakan kebiasaan wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam atau seperti menetapkan konsep haram oleh masyarakat Arab untuk beribadah dan berdamai. Ada banyak contoh-contoh yang bisa kita dapatkan dalam kajian sejarah dimana kemudian Alquran al-Karim ataupun Sunnah menetapkan sebuah kebiasaan menjadi salah satu bagian dari hukum Islam, meskipun setelah diberi aturan tambahan. Selain cadar dan konsep haram, kita juga bisa melihat mahar, sunnah atau tradisi, denda, polygami dan lain sebagainya.

f. Urf fâsid (العرف الفاسد ) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Seperti praktek riba’ yang sudah mewabah dalam kalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, atau juga meminum minuman keras. Setelah datangnya Islam maka ‘urf-’urf yang seperti ini ditentang dan dikikis baik secara perlahan-lahan maupun langsung. Kalau untuk masa sekarang, mungkin kita mengenal kebiasaan yang berlaku luas dikalangan masyarakat Indonesia, yaitu marpangir, yakni berpergian kesuatu tempat tanpa ada batasan yang jelas antara wanita dan laki-laki dan mandi bersama-sama, kebiasaan ini dilakukan untuk menyambut bulan puasa.

D. Syarat-Syarat ‘Urf

Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:

‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu ‘urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.

‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.

‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara ‘urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti ‘urf tidak berlaku.

‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

G. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’

Apabila ada urf yang berlaku dalam masyarakat bertentangan dengan nash baik Alquran al-Karim maupun Hadits, maka para ulama Ushul merincinya sebagai berikut:

Apabila bertetantangan dengan nash yang khusus yang menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung dalam nash tersebut, maka dalam kasus ini tentu saja ‘urf tidak dapat dipakai dan dijadikan sebagai dalil. Seperti menceraikan wanita dan mengawininya kembali tanpa sesuka hati oleh laki-laki. ‘Urf seperti ini berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Maka kemudian setelah datangnya Islam, syari’at menetapkan iddah.

Apabila bertentangan dengan nash yang bersifat umum, maka ada perbedaan pendapat didalamnya. Menurut Mushtafa Ahmad az-Zarqa’, apabila ‘urf itu telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum tersebut, maka perlu dibedakan antara ‘urf ‘amali dan ‘urf lafzhi. ‘Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai ‘urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa maksud dari redaksi nash itu tidaklah seperti arti yang difahami dalam ‘urf, seperti kata walad yang biasanya difahami dengan arti anak laki-laki, tapi kemudian dalam surah an-Nisa ayat 11, disitu diberikan indikator lain bahwa walad disini adalah anak laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan dalam ‘urf amali terjadi perbedaan pendapat didalamnya. Menurut mazhab Hanafiyah, apabila ‘urf yang ada adalah ‘urf umum, maka itu bisa mengkhususkan nash yang umum tersebut. Karena pengkhususan tersebut tidak membuat hukum yang dikandung nash tersebut tidak dapat diamalkan. Misalnya Rasul yang membolehkan jual-beli salaam :

نهى عن بيع ما ليس للإنسان و رخص فى السلم (رواه البخارى و أبو داود)

Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh manusia dan beliau memberi keringanan dalam jual-beli pesanan (HR al-Bukhori dan Abu Daud)

Akad seperti ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Madinah sebelum Rasul datang kesana.

Jika ‘urf yang terbentuk belakangan setelah datangnya nash yang bersifat umum, maka segala bentuk dan macam-maca ‘urf itu tidak bisa dijadikan dalil. Untuk hal ini, ulama Fikih sepakat menolak kehujjahan urf tersebut. Akan tetapi apabila illat suatu nash adalah ‘urf ‘amali, maka ketika illat itu hilang maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Yusuf. Seperti Hadits Nabi yang berarti: “diamnya seorang wanita adalah persetujuannya”, ini berdasarkan ‘urf pada masa itu, yang mana mayoritas ketika ia ditanya apakah ia mau menikah dengan si Fulan, ia diam saja dan itu menunjukkan persetujuannya. Akan tetapi bila keadaanya sudah berubah seperti sekarang ini, maka diamnya wanita tidak bisa dipatok sebagai perserujuannya, karena ‘urf sudah berubah. Akan tetapi jumhur ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.

Apabila terjadi pertentangan ‘urf dengan al-maslahah al-mursalah, maka menurut ulama Malikiyyah, ‘urf lebih didahulukan, begitu juga dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali.

Adapun dalam pertentang ‘urf dengan istihsân, karena ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima istihsan, maka otomatis mereka menggunakan ‘urf.

Apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan qiyas, ulama dari kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah lebih mendahulukan ‘urf, karena ‘urf dalam masalah yang tidak ada nashnya menempati posisi ijma’. Menurut Ahmad az-Zarqa’ bahwa baik Syafi’iyyah dan Hanabilah secara prinsipil lebih mendahulukan ‘urf dari pada qiyas.

E. Kehujjahan ‘Urf

Para ulama Ushul sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil Syara’ haruslah dijaga dan dipertimbangkan dalam menetapkan hukum. Nashrun Haroen mengatakan bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ini bisa dijadikan sebagai hujjah.Memang harus kita ingat bahwa dalam kajian ‘urf ini berada dibawah judul as-istidlâl. Sedangkan as-istidlâl sendiri berarti:

ما ليس بنص و لا إجماع و لا قياس

(mengmbil dalil dalam) perkara yang tidak ada dalam nash maupun ijma’ atau qiyas.

Dalam beberapa literatur yang telah kami baca, tidak ada ulama yang secara jelas mengatakan bahwa ‘urf bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dan sebagai sumber hukum.

Akan tetapi akan banyak kita temukan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa ‘urf yang shahih ini bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Seperti pernyataan الثابت بالعرف كالثابت بالنص Yang ditetapkan melalui ‘urf seperti yang ditetapkan melalui nash. العرف شريعة محكمة ‘urf adalah hukum. العادة محكمة Adat itu sebagai hukum

Dalam kajian Harun Nashrun, beliau mengatakan bahwa Imam Syathibi (w 790) dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751) menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum apabila tidak ada nash yang menjelaskan tentang masalah tersebut.

Memang dalam beberapa keputusan para ulama baik pada masa klasik ataupun modern tentu tidak akan terlepas sepenuhnya dari ‘urf ini. Banyak keputusan-keputusan yang mereka ambil dengan mempertimbangkan ‘urf ini. Seperti Imam syafi’i yang mempunyai Qaul Jadid dan Qaul Qadim, yang lama di Baghdad dan setelahnya di Mesir. Menurut sebagian para pengkaji, tidak diragukan lagi hal itu merupakan pengaruh dari ‘urf yang berbeda yang berlaku pada kedua penduduk kota tersebut. Atau seperti ulama-ulama mazhab Hanafiyah yang memperbolehkan guru Alquran, imam sholat, mua’dzzin untuk mengambil upah dari pekerjaan mereka meskipun ulama terdahulu dari mazhab mereka tidak memperbolehkan hal tersebut.

Tapi tentu saja semua sepakat bahwa ‘urf ini berlaku sebagai dalil hukum, hanya dalam masalah yang tidak ada aturannya dalam Alquran al-Karim maupun Sunnah. Selain itu ‘urf yang dipakai juga tentu ‘urf yang tidak bertentang dengan keduanya.

Ada suatu pendapat yang perlu kita perhatikan, yakni pendapat Syihabuddin al-Qorofi:

Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq.

Alasan mereka yang menerima ‘urf bisa dikatakan sebagai berikut:

Dari Alquran al-Karim, mereka mengambil ayat:

و ما جعل عليكم فى الدين من حرج (الحج 78 )

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama (al-Hajj: 78).

Maka menurut mereka yang menerima ‘urf sebagai dalil, suatu penetepan hukum tanpa melihat ‘urf atau dengan kata lain dengan melawan dan tidak sesuai ‘urf yang shahih adalah suatu kesempitan dalam agama, dan itu bertentangan dengan ayat diatas.

Sedangkan dari Hadits Nabi:

ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

Apa yang dilihat baik oleh kaum muslim maka itu juga baik bagi Allah SWT.

Kemudian merekak berpendapat ada praktek Nabi yang menerima ‘urf Madinah, seperti ketika menetapkan jual beli aroya dan salam karena melihat itu sudah menjadi ‘urf penduduk Madinah. Padahal sebelumnya beliau sudah bersabda:

نهى عن بيع المعدوم

Dilarang untuk menjual yang tidak ada

Tidak diragukan lagi bahwa banyak hukum yang ditetapkan oleh Alquran al-Karim merupakan penetapan dan penjagaan ‘urf orang-orang Arab, seperti banyak contoh yang telah kita sebutkan diatas.

Abdul Wahab Khallaf pernah berkata:

الجمود على المنقولات أيا كانت أضلال فى الدين و جهل بمقاصد المسلمين و السلف الماضين

Statis dalam ayat-ayat atau hadits bagaimanapun adalah kesesatan dalam agama dan merupakan kebodohan dan ketidaktahuan atas tujuan-tujuan kaum muslim yang sekarang dan yang lampau.

Kami memang tidak bisa menemukan beberapa ulama yang secara jelas-jelas menolak ‘urf sebagai dalil syar’i kecuali hanya sedikit. Seperti Badrul Mutawalli, yang berpendapat bahwa penetapan ‘urf itu dalilnya bukan ‘urf itu sendiri tapi ada dalil yang lain. Artinya dia menolak ‘urf sebagai dalil penetapan hukum. Atau juga seperti perkataan Syihabuddin al-Qorofi yang telah kita nukilkan dari buku Abdul Wahab Khalla Merekapun yang menolak ‘urf sebagai dalil, tetap saja tidak menolak bahwa ‘urf itu juga berpengaruh dalam penetapan, tapi bukan sebagai dalil dan sumber akan tetapi sebagai bahan pertimbangan.


H. Penutup

Dalam memberikan definisi Para ulama Ushul tidak berbeda secara mencolok. Mereka hampir sepakat, walau dengan redaksi yang berbeda, bahwa konsep ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan sudah berlaku di kalangan mereka. Selain itu kebanyakan mereka juga tidak membedakan antara ‘urf dengan adat, yang dahulunya lebih dikenal dengan sunnah. Hanya ada beberapa pengkaji yang berpendapat bahwa hanya ‘urf ‘amalilah yang sama pengertiannya dengan adat.

Dalam masalah kehujjahan sebagai dalil hukum, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama ushul fiqh diantara golongan yang menerima dan menolaknya. Sementara dalam kekuatannya, juga terdapat perbedaan pendapat jikalau ‘urf bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Apabila ‘urf itu bertentangan dengan dalil nash yang rinci, tampaknya para ulama sepakat bahwa ‘urf tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Akan tetapi dalam nash yang umum, ada yang berpendapat bahwa ‘urf ini bisa mengkhususkan nash itu, meskipun ada juga yang menolak pendapat tersebut.
Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Total Tayangan Halaman

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Aulia Rachma - All Rights Reserved
Original Post by Yaya